Arkarna, band asal Inggris (Video: www.youtube.com)
BAND asal Inggris, Arkarna, menyanyikan lagu Kebyar-Kebyar
dalam bahasa Indonesia yang fasih. Batin saya tercekat. Bukan karena
syair lagunya yang penuh makna dan membangkitkan nasionalisme, melainkan
satu keping sejarah dan suara-suara lirih yang selama ini terabaikan.
Melalui
lagu ini, saya tersadar bahwa kemerdekaan bukan sekadar hasil dari
perjuangan bersenjata di medan laga. Suara-suara pada lagu ini hendak
menunjukkan bahwa kemerdekaan ibarat bangunan yang setiap bata
penyusunnya adalah rakyat Indonesia yang memiliki beragam profesi.
Kemerdekaan adalah akumulasi suara-suara banyak orang yang
mengalirkannya dalam berbagai warna.
Tentu saja, kemerdekaan tak
bisa diklaim sebagai kerja-kerja militer di medan laga. Bahwa ada
banyak manusia-manusia lain yang siap sedia merebut kemerdekaan, lalu
merawatnya dengan beragam cara. Di antara sosok–sosok itu terdapat para
seniman yang menjaga api kemerdekaan dengan lagu-lagu yang menyentak,
dan terus-menerus merawat kesadaran dan kecintaan kita pada bangsa ini.
Demikian
pula dengan kerja-kerja mengisi kemerdekaan. Meskipun kemerdekaan telah
direbut, bukan berarti keberadaan para patriot bangsa telah punah. Para
pahlawan selalu hadir sesuai dengan spirit zaman hari ini. Tentu saja,
keberadaan mereka tak bisa dinisbahkan hanya pada tentara, polisi, dan
pemerintah. Kerja itu juga melibatkan para seniman dan penyair yang
melalui kata telah membentuk gambaran kita tentang Indonesia.
Saya tiba-tiba saja terkenang pada Gombloh, seniman besar yang membuat lagu Kebyar-Kebyar.
Sosok ini tak hanya milik rakyat Surabaya, yang menjadi rumah seninya,
tapi juga seluruh bangsa Indonesia. Lagu-lagunya mengalir dalam nadi
semua pencinta negeri ini. Lagu-lagunya menjadi lagu wajib para
demonstran. Bahkan saat gerakan reformasi berkumandang, lagu-lagu milik
Gombloh dinyanyikan bersama lagu karya Iwan Fals dan Franky Sahilatua di
seluruh penjuru tanah air. Mereka adalah pahlawan besar yang merawat
kecintaan pada tanah air melalui syair-syair.
Jika tak ada
Gombloh, Iwan Fals, Franky Sahilatua, Leo Kristy, ataupun Ebiet G Ade,
apakah momentum sejarah seperti reformasi bisa lahir? Belum tentu. Para
seniman-seniman bersuara kritis ini telah memberikan sinyal kepada
seluruh warga bahwa ada sesuatu yang salah di negeri ini. Melalui lagu,
mereka mengisi kesadaran orang tentang perlunya menentukan sikap.
Melalui syair, mereka menggedor hasrat anak-anak muda untuk segera
bangkit dan meluruskan berbagai kesalahan yang dilakukan anak bangsa.
Karier
Gombloh terbilang unik. Ia pernah belajar di jurusan arsitektur,
Institut Teknologi 10 November (ITS) Surabaya. Namun belajar di kampus
bukanlah dunianya. Ia lalu bergabung dengan Leo Kristi dan Franky
Sahilatua. Selanjutnya ia ber-solo karier. Ia menggambarkan kehidupan
sehari-hari rakyat kecil melalui lagu Doa Seorang Pelacur, Kilang-Kilang, Poligami Poligami, Nyanyi Anak Seorang Pencuri, Selamat Pagi Kotaku. Ia juga membuat beberapa lagu bertemakan lingkungan, salah satunya adalah Lestarikan Alamku yang kerap dinyanyikan para aktivis. Lirik-liriknya khas, sedikit nakal, dan kadang misterius.
Sosok ini dikenang karena lagu-lagunya yang menggugah nasionalisme. Di antaranyaa dalah lagu Dewa Ruci, Gugur Bunga, Gaung Mojokerto-Surabaya, Indonesia Kami, Indonesiaku, Indonesiamu, Pesan Buat Negeriku, dan BK, lagu yang bertutur tentang Bung Karno, sang proklamator. Lagunya Kebyar Kebyar banyak dinyanyikan di masa perjuangan menuntut reformasi.
Gombloh
memang sosok legendaris. Pada tahun 2012 lalu, Prof
William Frederick, seorang profesor sejarah di kampus Ohio University,
Amerika Serikat. Profesor ini amat mengagumi dedikasi dan nasionalisme
yang dipancakan Gombloh. Menurutnya, pada diri musisi seperti Gombloh,
kita bisa melihat bagaimana perubahan sosial perlahan disulut, bagaimana
upaya menebalkan kecintaan pada atanah air, serta bagaimana mengasah
kepekaan sosial atas apa yang terjadi. Bagi profesor ini, lagu-lagu
Gombloh adalah jendela untuk memahami perubahan.
Tak hanya
William Frederick, peneliti Martin Hitch juga banyak membahas lagu-lagu
Gombloh saat mempresentasikan risetnya yang bertajuk, "Social Criticsm
in the Songs of 1980’s Indonesian Pop Country Singers", yang dibawakan
dalam seminar musik The Society of Ethnomusicology di Toronto, Kanada,
pada tahun 2000. Ia mengutip beberapa lagu Gombloh demi menunjukkan
keping-keping kenyataan yang dilihat sang seniman, yang kemudian
diabadikan dalam lagu.
Saya sepakat dengan tuturan Gilderoy Lockard dalam buku Dance of Life. Popular Music and Politics in Southeast Asia, yang
terbit pada tahun 1998. Ia mengatakan bahwa selalu ada hubungan antara
musik populer dan situasi politik di Asia Tenggara. Ia percaya bahwa
seorang penyanyi memiliki peran sebagai aktor politik, yang menggunakan
musik sebagai senjata untuk menentang kemapanan satu rezim. Dalam
konteks ini, lagu-lagu dan syair yang dihasilkan Gombloh adalah potret
realitas sosial, yang secara perlahan telah membakar hati banyak orang
tentang situasi zaman kita dan perlunya untuk mengingatkan rezim.
Pada
titik ini, kita bisa mengatakan bahwa Gombloh adalah pahlawan besar
yang menjadikan lirik dan lagu sebagai senjata. Ia menyajikan potret
buram tanah air, sekaligus menyajikan perlunya membangkitkan semangat
untuk menyeesaikan kerja-kerja yang belum tuntas. Lagu Kebyar-Kebyar
menjadi pernyataan sikap Gombloh terhadap tanah air Indonesia,
sebagaimana syair, “debar jantungku, getar nadiku berbaur dalam
semangatmu”.
***
HARI ini saya mendengarkan lagu Gombloh
dinyanyikan band Arkarna. Batin saya dibasahi oleh semangat Indonesia.
Yang segera terasa adalah kebanggaan sebagai bangsa dan negara yang
lagu-lagunya dinyanyikan oleh bangsa lain. Yang terasa adalah harapan
bahwa bangsa ini “sejak dulu selalu dipuja-puja bangsa.” Melalui
Arkarna, kita melihat kembali betapa bangsa kita selalu punya harapan
dan potensi besar untuk berkibar di mana-mana.
Melalui Arkarna
pula, kita bisa memperbarui kecintaan kita pada beberapa sosok seperti
Gombloh. Saatnya memberikan apresiasi pada banyak warga biasa yang
memberikan kontribusi pemikirannya untuk negara. Saatnya untuk melihat
kemerdekaan sebagai kerja bersama, yang tidak hanya melibatkan para
militer, namun juga seluruh elemen masyarakat. Adalah salah kaprah
mengidentikkan kemerdekaan dengan tugas para pemanggul senjata. Selama
sekian tahun, gambaran kita tentang kemerdekaan adalah perlawanan
bersenjata, aksi tembak-menembak, serta prajurit yang terluka di medan
peperangan.
Jika tekun membaca sejarah, kita akan menemui satu
kesimpulan penting bahwa perjuangan persenjata hanyalah kepingan kecil
yang menyangga rumah besar bernama kemerdekaan. Makanya, negara harus
hadir untuk memberikan perlindungan kepada seluruh anak bangsa, tanpa
kecuali.
Pada diri Gombloh, kita bisa menemukan cermin untuk
kembali melihat Indonesia. Kita bisa menyaksikan berbagai masalah,
coreng-moreng di wajah bangsa, serta betapa sedikitnya yang kita lakukan
untuk mengisi bangsa ini. Pada diri Gombloh, kita menyaksikan
Indonesia.
"kompasiana" Bogor, Agustus 2015
Komentar